Al-Quran berbicara tentang perempuan dalam berbagai
surat, dan pembicaraan tersebut menyangkut berbagai sisi kehidupan. Ada ayat yang
berbicara tentang hak dan kewajibannya, ada pula yang menguraikan keistimewaan tokoh-tokoh
perempuan dalam sejarah agama dan kemanusiaan.
Secara umum surat An-Nisa' ayat 32 menunjukkan hak-hak perempuan:
"(Karena) bagi lelaki dianugerahkan hak (bagian) dan
apa yang diusahakannya, dan bagi perempuan dianugerahkan hak (bagian) dan apa
yang diusahakannya."
Berikut ini akan dikemukakan beberapa hak yang dimiliki
oleh kaum perempuan menurut pandangan ajaran Islam.
Hak-hak perempuan di luar rumah
Pembahasan menyangkut keberadaan perempuan di dalam
atau di luar rumah dapat bermula dari surat Al-Ahzab ayat 33, yang antara lain
berbunyi, "Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan janganlah kamu berhias
dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliah terdahulu."
Ayat ini seringkali dijadikan dasar untuk menghalangi
wanita ke luar rumah. Al-Qurthubi (w 671 H) - yang dikenal sebagai salah seorang
pakar tafsir khususnya dalam bidang hukum - menulis antara lain: "Makna
ayat di atas adalah perintah untuk menetap di rumah, Walaupun redaksi ayat ini
ditujukan kepada istri-istri Nabi Muhammad Saw., tetapi selain dari mereka juga
tercakup dalam perintah tersebut." Selanjutnya mufasir tersebut menegaskan
bahwa agama dipenuhi oleh tuntunan agar Wanita-wanita tinggal di rumah, dan
tidak ke luar rumah kecuali karena keadaan darurat.
Pendapat yang sama dikemukakan juga oleh Ibnu Al-'Arabi
(1076 - 1148 M) dalam tafsir Ayat-ayat Al-Ahkam-nya. Sementara itu, penafsiran Ibnu
Katsir lebih moderat. Menurutnya ayat tersebut merupakan larangan bagi wanita untuk
keluar rumah, jika tidak ada kebutuhan yang dibenarkan agama, seperti shalat,
misalnya.
Selanjutnya Al-Maududi menjelaskan bahwa: Tempat wanita
adalah di rumah, mereka tidak dibebaskan dari pekerjaan luar rumah kecuali agar
mereka selalu berada di rumah dengan tenang dan hormat, sehingga mereka dapat melaksanakan
kewajiban rumah tangga. Adapun kalau ada hajat keperluannya untuk keluar, maka boleh
saja mereka keluar rumah dengan syarat memperhatikan segi kesucian diri dan memelihara
rasa malu.
Terbaca bahwa Al-Maududi tidak menggunakan kata
"darurat" tetapi "kebutuhan atau keperluan." Hal serupa dikemukakan
oleh Tim yang menyusun tafsir yang diterbitkan oleh Departemen Agama RI. Ini berarti
bahwa ada peluang bagi wanita untuk keluar rumah. Persoalannya adalah dalam batas-batas
apa saja izin tersebut? Misalnya, "Bolehkah mereka bekerja?"
Muhammad Quthb, salah seorang pemikir Ikhwan
Al-Muslimun menulis, dalam bukunya Ma'rakat At-Taqalid, bahwa "ayat itu bukan
berarti bahwa wanita tidak boleh bekerja karena Islam tidak melarang wanita bekerja.
Hanya saja Islam tidak mendorong hal tersebut, Islam membenarkan mereka bekerja
sebagai darurat dan tidak menjadikannya sebagai dasar."
Dalam bukunya Syubuhat Haula Al-Islam, Muhammad Quthb lebih
jauh menjelaskan: Perempuan pada awal zaman Islam pun bekerja, ketika kondisi menuntut
mereka untuk bekerja. Masalahnya bukan terletak pada ada atau tidaknya hak
mereka untuk bekerja, masalahnya adalah bahwa Islam tidak cenderung mendorong wanita
keluar rumah kecuali untuk pekerjaan-pekerjaan yang sangat perlu, yang
dibutuhkan oleh masyarakat, atau atas dasar kebutuhan wanita tertentu. Misalnya
kebutuhan untuk bekerja karena tidak ada yang membiayai hidupnya, atau karena yang
menanggung hidupnya tidak mampu mencukupi kebutuhannya.
Sayyid Quthb, dalam tafsirnya Fi Zhilal Al-Quran
menulis bahwa arti waqarna dalam firman Allah, Waqarna fi buyutikunna, berarti,
"Berat, mantap, dan menetap." Tetapi, tulisnya lebih jauh, ,'Ini
bukan berarti bahwa mereka tidak boleh meninggalkan rumah. Ini mengisyaratkan
bahwa rumah tangga adalah tugas pokoknya, sedangkan selain itu adalah tempat ia
tidak menetap atau bukan tugas pokoknya."
Sa'id Hawa salah seorang ulama Mesir kontemporer - memberikan
contoh tentang apa yang dimaksud dengan kebutuhan, seperti mengunjungi orang
tua dan belajar yang sifatnya fardhu 'ain atau kifayah, dan bekerja untuk memenuhi
kebutuhan hidup karena tidak ada orang yang dapat menanggungnya.
Isa Abduh, seorang ulama-ekonom Muslim Mesir, menekankan
bahwa surat Thaha ayat 117 memberikan isyarat bahwa Al-Quran meletakkan
kewajiban mencari nafkah di atas pundak lelaki dan bukan perempuan. Ayat yang
dimaksud adalah:
"Maka Kami berfirman, "Wahai Adam,
sesunggahnya ini (Iblis) adalah musuh bagimu dan bagi istrimu, maka sekali-kali
janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang akan menyebabkan
engkau (dalam bentuk tunggal untuk pria) bersusah payah."
Yakni bersusah payah dalam memenuhi kebutuhan sandang,
papan dan pangan, sebagaimana disebutkan dalam lanjutan ayat tersebut.
Menurut Isa Abduh, penggunaan bentuk tunggal pada
redaksi engkau bersusah-payah memberikan isyarat bahwa kewajiban bekerja untuk memenuhi
kebutuhan istri dan anak-anak terletak di atas pundak suami atau ayah.
Pendapat para pemikir Islam kontemporer di atas, masih dikembangkan
lagi oleh sekian banyak pemikir Muslim, dengan menelaah keterlibatan perempuan
dalam pekerjaan pada masa Nabi Saw., sahabat sahabat beliau, dan para tabiiin.
Dalam hal ini, ditemukan sekian banyak jenis dan ragam pekerjaan yang dilakukan
oleh kaum wanita.
Nama-nama seperti Ummu Salamah (istri Nabi), Shafiyah,
Laila Al-Ghaffariyah, Ummu Sinam Al-Aslamiyah, dan lain-lain, tercatat sebagai
tokoh-tokoh yang terlibat dalam peperangan. Ahli hadis Imam Bukhari, membukukan
bab-bab dalam kitab Shahih-nya tentang kegiatan kaum wanita, seperti: "Bab
Keterlibatan Perempuan dalam Jihad," "Bab Peperangan Perempuan di Lautan,"
"Bab Keterlibatan Perempuan Merawat Korban," dan lain-lain .
Disamping itu, para perempuan pada masa Nabi Saw. aktif
pula dalam berbagai bidang pekerjaan. Ada yang bekerja sebagai perias pengantin
seperti Ummu Salim binti Malhan yang merias antara lain Shafiyah binti Huyay, istri
Nabi Muhammad Saw., serta ada juga yang menjadi perawat, bidan, dan sebagainya.
Dalam bidang perdagangan, nama istri Nabi yang pertama,
Khadijah binti Khuwailid, tercatat sebagai seorang perempuan yang sangat
sukses. Demikian juga Qilat Ummi Bani Anmar yang tercatat sebagai seorang
perempuan yang pernah datang kepada Nabi meminta petunjuk-petunjuk jual-beli.
Zainab binti Jahsy
juga aktif bekerja menyamak kulit binatang, dan hasil usahanya
itu beliau sedekahkan.
Raithah, istri sahabat Nabi yang bernama Abdullah IbnuMas'ud,
sangat aktif bekerja, karena suami dan anaknya ketika itu tidak mampu mencukupi
kebutuhan hidup keluarga ini. Sementara itu, Al-Syifa', seorang perempuan yang
pandai menulis, ditugaskan oleh Khalifah Umar r.a. sebagai petugas yang
menangani pasar kota Madinah.
Demikian sedikit dari banyak contoh yang terjadi pada
masa Rasulullah Saw., dan sahabat beliau, menyangkut keikutsertaan perempuan dalam
berbagai bidang usaha dan pekerjaan.
Tentu saja tidak semua bentuk dan ragam pekerjaan yang terdapat
pada masa kini telah ada pada masa Nabi Saw. Namun, betapapun, sebagian ulama menyimpulkan
bahwa Islam membenarkan kaum wanita aktif dalam berbagai kegiatan, atau bekerja
dalam berbagai bidang di dalam maupun di luar rumahnya secara mandiri, bersama orang
lain, atau dengan lembaga pemerintah maupun swasta, selama pekerjaan tersebut dilakukan
dalam suasana terhormat, sopan, serta mereka dapat memelihara agamanya, dan dapat
pula menghindarkan dampak-dampak negatif pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungannya.
"QS"
The best casino games in the world: online slots - Woorica Sites
BalasHapusThe most popular games that 벳 매니아 can be played 벳 티비 online today 피망 포커 현금화 include popular 사다리사이트 slot games like Blackjack, Roulette, and 먹튀폴리스 검증업체 Slots.