Apakah wanita memiliki hak-hak dalam bidang politik ?. Paling
tidak ada tiga alasan yang sering dikemukakan sebagai larangan keterlibatan
mereka.
1.
Ayat Ar-rijal qawwamuna
'alan-nisa' (Lelaki adalah pemimpin bagi kaum wanita) (QS An-Nisa, [4]: 34)
2. Hadis yang menyatakan
bahwa akal wanita kurang cerdas dibandingkan dengan akal lelaki;
keberagamaannya pun demikian.
3.
Hadis yang mengatakan: Lan
yaflaha qaum wallauw amrahum imra'at
(Tidak akan berbahagia satu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan).
Ayat dan hadis-hadis di atas menurut mereka mengisyaratkan
bahwa kepemimpinan hanya untuk kaum lelaki, dan menegaskan bahwa wanita harus
mengakui kepemimpinan lelaki. Al-Qurthubi dalam tafsirnya menulis tentang makna
ayat di atas:
Para lelaki (suami) didahulukan (diberi hak kepemimpinan,
karena lelaki berkewajiban memberikan nafkah kepada wanita dan membela mereka,
juga (karena) hanya lelaki yang menjadi penguasa, hakim, dan juga ikut bertempur.
Sedangkan semua itu tidak terdapat pada wanita.
Selanjutnya penafsir ini, menegaskan bahwa : Ayat ini
menunjukkan bahwa lelaki berkewajiban mengatur dan mendidik wanita, serta
menugaskannya berada di rumah dan melarangnya keluar. Wanita berkewajiban menaati
dan melaksanakan perintahnya selama itu bukan perintah maksiat.
Pendapat ini diikuti oleh banyak mufasir lainnya. Namun, sekian
banyak mufasir dan pemikir kontemporer melihat bahwa ayat di atas tidak harus dipahami
demikian, apalagi ayat tersebut berbicara dalam konteks kehidupan berumah
tangga.
Seperti dikemukakan sebelumnya, kata ar-rijal dalam ayat ar-rijalu
qawwamuna 'alan nisa', bukan berarti lelaki secara umum, tetapi adalah "suami"
karena konsiderans perintah tersebut seperti ditegaskan pada lanjutan ayat
adalah karena mereka (para suami) menafkahkan sebagian harta untuk istri-istri
mereka. Seandainya yang dimaksud dengan kata "lelaki" adalah kaum
pria secara umum, tentu konsideransnya tidak demikian. Terlebih lagi lanjutan
ayat tersebut secara jelas berbicara tentang para istri dan kehidupan rumah tangga.
Ayat ini secara khusus akan dibahas lebih jauh ketika menyajikan peranan, hak, dan
kewajiban perempuan dalam rumah tangga Islam.
Adapun mengenai hadis, "tidak beruntung satu kaum yang
menyerahkan urusan mereka kepada perempuan," perlu digarisbawahi bahwa hadis
ini tidak bersifat umum. Ini terbukti dan redaksi hadis tersebut secara utuh,
seperti diriwayatkan Bukhari, Ahmad, An-Nasa'i dan At-Tirmidzi, melalui Abu
Bakrah.
Ketika Rasulullah Saw. mengetahui bahwa masyarakat Persia
mengangkat putri Kisra sebagai penguasa mereka, beliau bersabda, "Tidak akan
beruntung satu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan."
(Diriwayatkan oleh Bukhari, An-Nasa'i, dan Ahmad melalui Abu Bakrah). Jadi sekali
lagi hadis tersebut di atas ditujukan kepada masyarakat Persia ketika itu, bukan
terhadap semua masyarakat dan dalam semua urusan.
Salah satu ayat yang sering dikemukakan oleh para pemikir
Islam berkaitan dengan hak-hak politik kaum perempuan adalah surat At-Taubah
ayat 71: "Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian
mereka adalah awliya' bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh untuk
mengerjakan yang makruf, mencegah yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan
zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi
rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana."
Secara umum ayat di atas dipahami sebagai gambaran
tentang kewajiban melakukan kerja sama antara lelaki dan perempuan untuk berbagai
bidang kehidupan yang ditunjukkan dengan kalimat "menyuruh mengerjakan
yang makruf dan mencegah yang munkar."
Pengertian kata awliya' mencakup kerja sama, bantuan, dan
penguasaan; sedangkan pengertian yang terkandung dalam frase "menyuruh mengerjakan
yang makruf" mencakup segala segi kebaikan dan perbaikan kehidupan, termasuk
memberikan nasihat atau kritik kepada penguasa, sehingga setiap lelaki dan perempuan
Muslim hendaknya mengikuti perkembangan masyarakat agar masing-masing mampu melihat
dan memberi saran atau nasihat untuk berbagai bidang kehidupan.
Menurut sementara pemikir, sabda Nabi Saw. yang berbunyi,
"Barangsiapa yang tidak memperhatikan kepentingan (urusan)
kaum Muslim, maka ia tidak termasuk golongan mereka."
Hadis ini mencakup kepentingan atau urusan kaum Muslim
yang dapat menyempit ataupun meluas sesuai dengan latar belakang dan tingkat pendidikan
seseorang, termasuk bidang politik.
Di sisi lain, Al-Quran juga mengajak umatnya (lelaki dan perempuan)
agar bermusyawarah, melalui "pujian Tuhan kepada mereka yang selalu
melakukannya. "Urusan mereka (selalu) diputuskan dengan musyawarah (QS
Al-Syura [42]: 38). Ayat ini dijadikan dasar oleh banyak ulama untuk
membuktikan adanya hak berpolitik bagi setiap lelaki dan perempuan.
Syura (musyawarah) menurut Al-Quran hendaknya merupakan salah
satu prinsip pengelolaan bidang-bidang kehidupan bersama, termasuk kehidupan politik.
Ini dalam arti bahwa setiap warga negara dalam hidup bermasyarakat dituntut
untuk senantiasa mengadakan musyawarah. Sejarah Islam juga menunjukkan betapa
kaum perempuan tanpa kecuali terlibat dalam berbagai bidang kemasyarakatan.
Al-Quran menguraikan permintaan para perempuan di zaman Nabi Saw. untuk
melakukan bai'at (janji setia kepada Nabi dan ajarannya), sebagaimana disebutkan
dalam surat Al-Mumtahanah ayat 12.
Sementara pakar agama Islam menjadikan bai'at para
perempuan sebagai bukti kebebasan untuk rnenentukan pandangan berkaitan dengan
kehidupan serta hak untuk mempunyai pilihan yang berbeda dengan pandangan
kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, bahkan terkadang berbeda dengan pandangan
suami dan ayah mereka sendiri.
Kenyataan sejarah menunjukkan sekian banyak wanita yang terlibat
pada persoalan politik praktis, Ummu Hani, misalnya dibenarkan sikapnya oleh
Nabi Muhammad Saw. ketika memberi jaminan keamanan kepada sebagian orang musyrik
(jaminan keamanan merupakan salah satu aspek bidang politik). Bahkan istri Nabi
Muhammad Saw. sendiri, yakni Aisyah r.a. , memimpin langsung peperangan melawan
Ali bin Abi Thalib yang ketika itu menduduki jabatan kepala negara. Dan isu
terbesar dalam peperangan tersebut adalah suksesi setelah terhunuhnya Khalifah
ketiga 'Utsman r.a. Peperangan ini dikenal dalam sejarah Islam dengan nama
Perang Unta (656 M). Keterlibatan Aisyah r.a. bersama sekian banyak sahabat Nabi
dan kepemimpinannya dalam peperangan itu, menunjukkan bahwa beliau bersama para
pengikutnya membolehkan keterlibatan perempuan dalam bidang politik praktis
sekalipun.
Dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki
oleh setiap orang, termasuk kaum wanita, mereka mempunyai hak untuk bekerja dan
menduduki jabatan-jabatan tertinggi, kendati ada jabatan yang oleh sebagian
ulama dianggap tidak boleh diduduki oleh kaum wanita, yaitu jabatan kepala
negara (Al-Imamah Al-Uzhma) dan hakim, namun perkembangan masyarakat dari saat
ke saat mengurangi pendukungan larangan tersebut, khususnya persoalan kedudukan
perempuan sebagai hakim.
Dalam beberapa kitab hukum Islam, seperti Al-Mughni, ditegaskan
bahwa setiap orang yang memiliki hak untuk melakukan sesuatu, maka sesuatu itu
dapat diwakilkan kepada orang lain, atau menerima perwakilan dari orang lain.
Atas dasar kaidah di atas, Dr. Jamaluddin Muhammad Mahmud
berpendapat bahwa berdasarkan kitab fiqih - bukan hanya sekadar pertimbangan
perkembangan masyarakat - kita dapat menyatakan bahwa perempuan dapat bertindak
sebagai pembela maupun penuntut dalam berbagai bidang.
Tentu masih banyak lagi yang dapat dikemukakan mengenai hak-hak
perempuan untuk berbagai bidang. Namun, kesimpulan akhir yang dapat ditarik
adalah bahwa mereka adalah Syaqaiq Ar-Rijal (saudara sekandung kaum lelaki),
sehingga kedudukan serta hak-haknya hampir dapat dikatakan sama. Kalaupun ada perbedaan
hanyalah akibat fungsi dan tugas utama yang dibebankan Tuhan kepada masing-masing
jenis kelamin, sehingga perbedaan yang ada tidaklah mengakibatkan yang satu merasa
memiliki kelebihan daripada yang lain:
"Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan
Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi
lelaki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan juga ada bagian
dari yang mereka usahakan, dan bermohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (QS An-Nisa, [4]: 32)
Di atas telah dikemukakan berbagai penafsiran yang sedikit
banyak berbeda satu dengan lainnya. Hemat penulis, perbedaan pendapat tersebut
muncul karena perbedaan kondisi sosial, adat istiadat, serta kecenderungan masing-masing,
yang kemudian mempengaruhi cara pandang dan kesimpulan mereka menyangkut
ayat-ayat Al-Quran dan hadis-hadis Nabi Saw.
Tidak mustahil, jika para pakar terdahulu hidup bersama putra-putri
abad kedua puluh, dan mengalami apa yang kita alami, serta mengetahui
perkembangan masyarakat dan iptek, mereka pun akan memahami ayat-ayat Al-Quran sebagaimana
pemahaman generasi masa kini. Sebaliknya, seandainya kita berada di kurun waktu
saat mereka hidup, tidak mustahil kita berpendapat seperti mereka. Ini berarti bahwa
seluruh pendapat yang dikemukakan, baik dari para pendahulu maupun pakar yang akan
datang, semuanya bermuara kepada teks-teks keagamaan. "QS"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar